Rabu, 14 Januari 2015

MENELADANI IMAM SYAFI'I DALAM PENGEMBANGAN KEILMUAN FIQIH



Dunia keilmuan Islam, khususnya dalam Fiqh dan Ushul al-Fiqh, tak mungkin dapat dipisahkan dari sosok Imam Syafi’i Radliyallahu ‘Anhu. Beliau adalah salah satu pendiri empat Madzhab Fiqih yang diikuti oleh ummat Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, yang populer disebut dengan Madzhab Syafi’i. Dallam perkembangannya sampai saat ini, Madzhab Syafi’i adalah madzhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh ummat Islam di dunia, khususnya di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman, Syria, Irak, dan masuh banyak lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara berfiqh yang digali dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan para penerusnya, memiliki kemampuan untuk tetap relevan dalam perkembangan sepanjang sejarah dan heterogenitas ummat Islam (geografi, demografi, kultur, etnis, ras, bahasa, dan tingkat perkembangan sosialnya).
Di Indonesia, madzhab ini telah menjadi inti dalam membentuk sebuah komunitas Alussunnah wal Jamaah semenjak berabad-abad lamanya, sehingga mustahil untuk ditandingi oleh madzhab lain seperti Hanafi, Hambali, dan Maliki. Lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran Islam semenjak kehadiran agama ini di Nusantara, baik formal maupun non formal, telah mengembangkan madzhab ini mengikuti perkembangan sosial dan budaya serta kebutuhan yang ada. Ibarat pohon makin kuatlah akarnya menancap di bumi Indonesia, makin rimbun pula daunnya menaungi ummat Islam, serta beranak-pinak cabang-cabangnya untuk dimanfaatkan mereka yang memerlukannya. Dengan kata lain, Madzhab Syafi’i adalah sama dan sebangun dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia. Mengembangkan Islam di Indonesia berarti pula melakukan pengembangan madzhab ini sebagai salah satu pijakan utamanya!
Itulah sebabnya menjadi sangat penting bagi para pelajar, mahasiswa, dan santri ponpes yang memiliki keinginan kuat untuk tafaqquh fid dien melalui pendalaman ilmu fiqh, untuk memahami sosok beliau secara komprehensif, sebagai tauladan (uswah) dan referensi utama sehingga dapat mengambil hikmah dari pergumulan intelektual beliau. Dengan mempelajari secara mendalam pribadi dan perjalanan kehidupan kecendekiawanan (intellectual biography) Imam Syafi’i maka akan diperoleh manfaat berupa pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual terhadap pemikiran dan pergumulan beliau dalam ilmu fiqh. Selanjutnya pemahaman tersebut akan bisa menjadi obor penerang bagi perjalanan para santri, pelajar, mahasiswa dan siapapun yang ingin memajukan fiqh dan menjadikannya tetap mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat yang terus menerus berubah.
Imam Syafi’i, ra bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Hasyimi al Muthallibi. Dari nama nenek moyangnya sudah jelas bahwa beliau memiliki hubungan silsilah langsng dengan suku Quraisy, tepatnya bani Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, yang notabene adalah kakek buyut dari junjungan kita Nabi Muhammad saw. Imam Syafi’i lahir pada th 150H di wilayah yang sekarang disebut Gaza, Palestina. Ketika beliau berusia 2 tahun, ibundanya membawa kembali ke tanah Hijaz, dan menetap di Makkah al Mukarromah. Karena ayahanda beliau telah wafat ketika masih tinggal di Gaza, maka Imam Syafi’i pun tumbuh dan berkembang sebagai anak yatim yang diasuh oleh ibundanya sendiri sedari kecil.
Perkembangan intelektual Imam Syafi’i semenjak keil memang sangat luar biasa. Usia tujuh tahun beliau telah hafal seluruh Al-Qur’an, dan pada usia sepuluh tahun beliau telah hapal di luar kepala seluruh isi kitab Muwattha’, karya Imam Maliki. Konon, Imam Syafi’i hanya perlu waktu sembilan malam untuk menghafalkan kitab tersebut! Pelajaran fiqh di Masjidil Haram Haram beliau selesaikan dengan cepat sehingga ketika berusia 15 tahun Imam besar Masjid, Muslim bin Khalid as-Zanji, menganjurkan orang untuk mendengarkan pandangan hukum (fatwa) beliau. Selain fiqh, beliau sejak kecil tertarik belajar Bahasa Arab dan Hadits yang membuat beliau kemudian terkenal sebagai seorang yang mempunyai hafalan ribuan Hadits dan memiliki kecakapan bahasa Arab yang luar biasa dan sangat bermanfaat untuk melakukan kajian dan penggalian hukum.
Setelah selesai belajar di Makkah, Imam Sayafi’i melanjutkan belajar ke Madinah pada usia 16 tahun. Di bawah bimbingan Imam Malik, beliau belajar sampai 11 tahun dan baru berakhir setelah sang guru wafat pada 179H. Seusai belajar di Madinah belia menjadi qadli di Najran, wilayah Yaman sampai tahun 184H. Titik balik kehidupan Imam Syafi’i terjadi pada tahun itu ketika beliau dipanggil ke Baghdad oleh Khalifah Harun Al Rasyid karena difitnah melakukan tindak pidana. Tuduhan dan fitnah tersebut tak terbukti dan beliu tinggal di Irak untuk belajar kepada Imam Muhammad bin al Hasan. Smapai usia 34 beliau belajar di sana, dan hasilnya sangat spektakuler: Imam Syafi’I berhasil memadukan paradigma fiqh para ahli Hadits (ahlul hadits) dari Hijaz dan paradigma fiqh rasional (ahlur-ra’yu) dari Irak! Diusia yang sangat muda inilah Imam Syafi’i kemudian ditetapkan sebagai Imam madzhab ketika beliau kembali ke Makkah untuk mengajar di sana.
Di Makkah beliau mulai menciptakan kaidah-kaidah istinbath (cara mengambil dalil), baik mengikuti model para fiqh dari Hijaz maupun Irak. Beliau dengan piawai memberikan penjelasan, kritik, dan metode perbandingan antara keduanya untuk kemudian diambil kaidah-kaidah yang baru. Melalui halaqah-halaqah di Masjidil Haram, Imam Syafi’i menarik banyak murid dan pengikut dan berhasil menulis Kitab Ar-Risalah yang berisi ilmu Ushul al-Fiqh. Penajaman ar Risalah dilakukan terus menerus setelah beliau berpindah ke Baghdad dan tinggal selama 2 tahun di kota tersebut. Ketokohan beliau menjadi semakin diakui sehingga mendapat julukan Imam as Sunnah wa Nashir al-Hadits (Imam as Sunnah dan pembela Hadits). Seluruh periode Makkah dan Baghdad ini, yang kemudian dibukukan dalam Kitab-kitab ar-Risalah dan al-Hujjah kemudian dikenal dalam sejarah Madzhab Syafi;I sebagai periode awal atau Qaul Qadim.
Setelah pindah ke Mesir, Imam Syafi’i makin mengintensifkan kajiannya terhadap fiqh dan ilmu Ushul al Fiqh. Karena konteks yang sangat berbeda antara tanah Hijaz dan Mesir dan juga interaksi dengan para ilmuan yang semakin banyak, maka neliau berkesempatan untuk melakukan revisi-revisi terhadap pandangan lama yang termuat dalam ar-Risalah maupun al Hujjah. Beliau mendiktekan pandangan-pandangan baru, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Qaul Jadid” itu, kepada para muridnya yang menjadi Kitam al-Umm. Melalui karya besar dalam ilmu fiqh inilah imam Syafi’i kemudian menjadi dikenal di seluruh dunia dan madzhabnya diikuti oleh mayoritas ummat di berbagai negara. Di samping keahlian dalam fiqh, beliau juga menulis berbagai Kitab dalam bidang lain, seperti bahasa, Hadits, sastra, dan ilmu ma’ani.
Madzhab fiqh Syafi’i dikembangkan oleh murid-murid beliau yangmerupakan ulama-ulama besar seperti al Mawardi, an Nawawi, al Ghazali, as Syairazi, as Syarbini, as Sya’rani, as Suyuthi, Ibn Hajar al Haitami dan al Hisni ad Dimasyqi. Di tangan para ulama Syafi’i itulah pemikiran dan pendapat Imam Syafi’i dikembangkan secara lebih luas, mendalam, dan komprehensif sehingga merupakan sebuah corpus keilmuan fiqh yang menjadi sumber yang tak pernah kering sampai saat ini. An Nawawi misalnya menyusun Majmu’ nya sebanyak 18 jilid, belum lagi kitab-kitab beliau yang lain seperti Minhajut Thalibin yang kemudian disyarahi oleh banyak ulama murid beliau, seperti: Nihayah (ar Ramli); Tuhfah (Ibn Hajar); Mughni Muhtaj (Syarbini), dll.
Mengapa madzhab Imam Syafi’i begitu cepat berkembang dan mampu mempertahankan relevansinya samapi sekarang di seluruh dunia?. Menurut Dr Wahbah Zuhaili, dalam bukunya “Fiqih Imam Syafi’i”, ada beberapa cirri khas yang membuat madzhab ini sangat kuat. Antara lain:

1. Madzhab Syafi’i selalu berpedoman pada ilmu Ushul al-Fiqh. Ilmu yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i ini dipergunakan untuk menetapkan kaidah-2 dan prinsip-2 dasar serta cara (manhaj) pengambilan dalil untuk menentukan hukum. Melalui penggunaan ilmu ini maka banyak para ulama yang berbeda pendapat banyak yang kemudian tertarik dengan mazhab Syafi’i dan memungkinkan terjadi pengayaan fiqh
2. Madzhab Syafi’i memungkinkan terjadinya perpaduan harmonis antara fiqh, rasio, dan hadits yang berasal dari dua aliran: Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Irak. Dari sinilah kemudian ditemukan manhaj taufiq (metode perpaduan) yang memberikan prioritas kepada Hadits, setelah Qur’an, sebagai sumber hujjah disusul dengan Qiyas apabila tidak ditemukan nash.
3. Imam Syafi’i lebih ringan persyaratannya ketimbang misalnya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam hal penggunaan Hadits. Imam Abu Hanifah mensyaratkan hadits Ahad harus memiliki peringkat kemasyhuran tertentu untuk bias diterima sebagai sumber, sedangkan Imam Malik mensyaratkan hadits yang diterima harus sesuai dengan praktik/amalan ahli Madinah. Menurut Imam Syafi’i, sebuah hadits bisa diterima sebagai sumber hujjah apabila ia adalah shahih dan sanadnya bersambung. Namun demikian, beliau menolak hadits Mursal sebagai sumber, kecuali diriwayatkan oleh shahabat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi
Kendati Imam Syafi’i menolak Istihsan dan Masholihul Mursalah sebagai sumber hukum fiqh, namun ulama-ulama madzhab Syafi’i yang sesudahnya menggunakan keduanya, sebagaimana para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul ‘Ulama melakukan hal yang sama. Apa yang menjadi pendapat awal Imam Syafi’i (aqwal) dikembangkan dalam pendapat ulama-ulama Syafi’i berdasarkan Ushul Fiqh sehingga membentuk berbagai penafsiran pandangan (awjah) dan perbedaan para perawi mazhab (thuruq) yang memungkinkan perkembangan mazhab ini selanjutnya di masa-masa setelah mereka.
Karena adanya ketiga faktor itulah maka madzhab Syafi’i mampu menerobos batas-batas geografis dan juga kondisi perkembangan masyarakat yang berbeda-beda di dunia Islam. Namun demikian hal ini juga dapat menciptakan tantangan serius bagi para ulama fiqh madzhab ini karena mereka diharuskan untuk selalu meningkatkan pemahaman mereka yang terkait bukan saja dasar-dasara keilmuan fiqh tetapi juga perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di masyarakat atau negeri tertentu. Para pengikut madzhab ini selain mempunyai tingkat kelenturan yang tinggi di dalam memahami hukum, tetapi juga dituntut untuk memahami kaidah-kaidah yang benar-benar dapat dipergunakan secara akurat dan tidak sekedar menggunakannya sebagai alat justifikasi.Kegiatan bahtsul masail yang sudah menjadi tradisi di pondok pesantren NU di seluruh pelosok tanah air, tentu saja diharapkan untuk senantiasa mengikuti manhaj yang telah dirintis dibentuk dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan para ulama madzhab, mulai dari masa yang paling awal sampai para ulama mutaakhkhirin. Untuk itu, pemahaman yang komprehensif mengenai apa itu madzhab Syafi’i menjadi sine qua non (sesuatu yang mutlak) bagi mereka yang aktif dalam kegiatan ini. Apalagi dalam kondisi kemasyarakatan yang berubah dengan sangat cepat karena pengaruh teknologi informasi, transportasi dan ekonomi global, maka kemampuan para ulama dan santrai NU untuk mengembangkan manhaj dalam pengambilan dalil (istinbath) menjadi kunci utama jika ingin tetap relevan dengan tantangan zaman.
Tantangan yang dihadapi oleh ponpes dan para ulama serta santrinya tidaklah kecil. Ketika masyarakat kita sedang berada dalam kondisi krisis dan para pnyelenggara Negara juga tampaknya tidak mampu menyodorkan solusi yang tepat agar perikehidupan berbangsa menjadi lebih baik, maka banyak pihak yang mencoba mencari berbagai alternative, termasuk mencari jawabanap dari khazanah tradisi yang pernah menjadi rujukan. Pesantran merupakan salah satunya sehingga kita saksikan semacam arus kembangkitan pesantren yang luar biasa semenjak akhir abad ke duapuluh yang lalu.
Permasalahannya adalah apakah pesantren dan para pengasuhnya memang sudah memiliki kemampuan untuk memberikan solusi tersebut secara tepat atau hanya solusi yang bersifat paliatif, atau malah cuma sekedar solusi semu?
Jawaban atas pertanyaan di atas sangat tergantung kepada lembaga pesantren dan para pemangku kepentingan dan pengasuhnya. Bisa saja pesantren kemudian mengambil manfaat dari kebalauan dan kecarut-marutan masyarakat dengan memberikan jawaban-jawaban paliatif, sambil mengeruk keuntungan secara finansial dan gebyar popularitas publik yang sangat temporer sifatnya. Namun resiko yang harus ditanggung adalah akan hilangnya kredibilitas lembaga yang sudah berabad-abad ikut berperan dalam melindungi dan mendidik masyarakat. Di samping itu dalam jangka panjang, pesantren juga akan kehilangan relevansinya menghadapi realitas di luar yang semakin kompleks karena sibuk dengan dirinya sendiri dan kehilangan semangat untuk melihat kedepan,
Padahal jika kita belajar dari sosok seperti Imam Syafi’i maka yang paling menonjol dari beliau adalah kemampuannya untuk menerima dan mengantisipasi perubahan. Kenyataan bahwa ada yang disebuk qaul qodim dan qaul jaded itu saj sudah menunjukkan bahwa Imam Syafi’i menolak kejumudan atau stagnasi dalam pemikiran dan tindakan. Beliau adalah tipe cendekiawan yang senantiasa mencari tanpa henti. Padahal dengan kapasitas inteleknya yang luar biasa bisa saja beliau menjadi seorang yang berada dekat dengan pusat kekuasaan. Teladan yang harus kita ikuti dari beliau adalah menjadikan tafaqquh fid dien sebagi etos kehidupan pesantren yang akan mampu menjawab tantangan dalam kehidupan dan ikut meningkatkan kualitas manusia di sekitarnya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar