Senin, 26 Januari 2015

10 Wasiat Rosul Buat Wanita Sholehah




Ukhti, sebaik baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah. Dan ''perkara yang pertama kali ditanyakan kepada seorang wanita pada hari kiamat nanti, adalah mengenai sholat lima waktu dan ketaatannya terhadap suami,  (HR. Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah).
Ukhti, ada 10  wasiat Rasullullah kepada putrinya Fatimah binti Rasullullah. Sepuluh wasiat yang Beliau sampaikan merupakan mutiara yang termahal nilainya bila kemudian dimiliki oleh setiap istri sholehah, wasiat tersebut adalah::
1. Ya Fatimah, kepada wanita yang membuat tepung utk suami dan anak 2nya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan baginya dari setiap biji gandum,melebur kejelekan, dan meningkatkan derajat wanita itu.
2. Ya Fatimah, kepada wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak2nya, niscaya Allah menjadikan dirinya dgn neraka tujuh tabir pemisah
3. Ya Fatimah, tiadala seorsng yang meminyaki rambut anak2nya lalu menyisirnyadan mencuci pakainny, melainkan Allah akan menetapkan  pahala baginya seperti pahala  memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang
4. Ya Fatimah, tiadalah wanita yang menahan kebutuhan tetangganya, melainkan Allah akan menahankannya dari minum telaga kautsar pada hari  kiamat nanti
5. Ya Fatimah, yang utama dari seluruh keutamaan diatas adalah keridhoan suami terhadap istri. Andaikan suami tidak ridho kepadamu, maka aku tidak akan mendoakanmu
Ketahuilah wahai Fatimah, kemarahan suami adalah kemurkaan Allah
6. Ya Fatimah, apabila wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketika waanita merasa sakit akan melahirkan, Allah menetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang di jalan Allah. Jika dia melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa2nya seperti dia dilahirkan dr kandungan ibunya. Bila meninggal ketika melahirkan, maka dia tidak akan membawa dosa sedikitpun. Di dalam kubur akan mendapat pertamanan indah yang merupakan bagian dari taman surga. Dan Allah memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan sribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.
7. Ya Fatimahan, tiadalah wanita yang melayani suami selama sehari semalam dgn rasa senang dan ikhlas, melainkan Allah mengampuni dosa2nya serta memakaikan pakaian padanya di hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Dan Allah memberikan  kepadanya pahala seratus kali beribadah haji dan umrah.
8. Ya Fatimah, tiadalah wanita yang tersenyum dihadapan suami, melainkan Allah memandangnya dengan pandangan penuh kasih.
9. Ya Fatimah, tiadlah wanita yang membentangkan alas tidur buat suaminya dengan rasa senang hati, melainkan para malaikat memanggil dari langit menyeru wanita itu agar menyaksikan pahala  amalnya, dan ALlah mengampuni dosa2nya yang telah lalu dan yang akan datang.
10. Ya Fatimah, tidalah wanita yang meminyaki kepala suami dan menyisirnya, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya, melainkan Allah memberi minuman yang dikemas indah kepadanya yang didatangkan dari ah sakaratul sungai2 surga. Allah mempermudah sakaratul maut baginya, serta kuburnya menjadi bagian dari taman surga. Dan Allah menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shirathal mustaqim dengan selamat.
Begitu indah jadi wanita yg dengan kelembutan dan kasihny dapat merubah dunia. Maka jadilah wanita sholehah, agar negri menjadi indah, karena dirimu adalah tiang negri ini..

Semoga bermanfaat.....

Rabu, 14 Januari 2015

MENELADANI IMAM SYAFI'I DALAM PENGEMBANGAN KEILMUAN FIQIH



Dunia keilmuan Islam, khususnya dalam Fiqh dan Ushul al-Fiqh, tak mungkin dapat dipisahkan dari sosok Imam Syafi’i Radliyallahu ‘Anhu. Beliau adalah salah satu pendiri empat Madzhab Fiqih yang diikuti oleh ummat Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, yang populer disebut dengan Madzhab Syafi’i. Dallam perkembangannya sampai saat ini, Madzhab Syafi’i adalah madzhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh ummat Islam di dunia, khususnya di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman, Syria, Irak, dan masuh banyak lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara berfiqh yang digali dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan para penerusnya, memiliki kemampuan untuk tetap relevan dalam perkembangan sepanjang sejarah dan heterogenitas ummat Islam (geografi, demografi, kultur, etnis, ras, bahasa, dan tingkat perkembangan sosialnya).
Di Indonesia, madzhab ini telah menjadi inti dalam membentuk sebuah komunitas Alussunnah wal Jamaah semenjak berabad-abad lamanya, sehingga mustahil untuk ditandingi oleh madzhab lain seperti Hanafi, Hambali, dan Maliki. Lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran Islam semenjak kehadiran agama ini di Nusantara, baik formal maupun non formal, telah mengembangkan madzhab ini mengikuti perkembangan sosial dan budaya serta kebutuhan yang ada. Ibarat pohon makin kuatlah akarnya menancap di bumi Indonesia, makin rimbun pula daunnya menaungi ummat Islam, serta beranak-pinak cabang-cabangnya untuk dimanfaatkan mereka yang memerlukannya. Dengan kata lain, Madzhab Syafi’i adalah sama dan sebangun dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia. Mengembangkan Islam di Indonesia berarti pula melakukan pengembangan madzhab ini sebagai salah satu pijakan utamanya!
Itulah sebabnya menjadi sangat penting bagi para pelajar, mahasiswa, dan santri ponpes yang memiliki keinginan kuat untuk tafaqquh fid dien melalui pendalaman ilmu fiqh, untuk memahami sosok beliau secara komprehensif, sebagai tauladan (uswah) dan referensi utama sehingga dapat mengambil hikmah dari pergumulan intelektual beliau. Dengan mempelajari secara mendalam pribadi dan perjalanan kehidupan kecendekiawanan (intellectual biography) Imam Syafi’i maka akan diperoleh manfaat berupa pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual terhadap pemikiran dan pergumulan beliau dalam ilmu fiqh. Selanjutnya pemahaman tersebut akan bisa menjadi obor penerang bagi perjalanan para santri, pelajar, mahasiswa dan siapapun yang ingin memajukan fiqh dan menjadikannya tetap mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat yang terus menerus berubah.
Imam Syafi’i, ra bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Hasyimi al Muthallibi. Dari nama nenek moyangnya sudah jelas bahwa beliau memiliki hubungan silsilah langsng dengan suku Quraisy, tepatnya bani Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, yang notabene adalah kakek buyut dari junjungan kita Nabi Muhammad saw. Imam Syafi’i lahir pada th 150H di wilayah yang sekarang disebut Gaza, Palestina. Ketika beliau berusia 2 tahun, ibundanya membawa kembali ke tanah Hijaz, dan menetap di Makkah al Mukarromah. Karena ayahanda beliau telah wafat ketika masih tinggal di Gaza, maka Imam Syafi’i pun tumbuh dan berkembang sebagai anak yatim yang diasuh oleh ibundanya sendiri sedari kecil.
Perkembangan intelektual Imam Syafi’i semenjak keil memang sangat luar biasa. Usia tujuh tahun beliau telah hafal seluruh Al-Qur’an, dan pada usia sepuluh tahun beliau telah hapal di luar kepala seluruh isi kitab Muwattha’, karya Imam Maliki. Konon, Imam Syafi’i hanya perlu waktu sembilan malam untuk menghafalkan kitab tersebut! Pelajaran fiqh di Masjidil Haram Haram beliau selesaikan dengan cepat sehingga ketika berusia 15 tahun Imam besar Masjid, Muslim bin Khalid as-Zanji, menganjurkan orang untuk mendengarkan pandangan hukum (fatwa) beliau. Selain fiqh, beliau sejak kecil tertarik belajar Bahasa Arab dan Hadits yang membuat beliau kemudian terkenal sebagai seorang yang mempunyai hafalan ribuan Hadits dan memiliki kecakapan bahasa Arab yang luar biasa dan sangat bermanfaat untuk melakukan kajian dan penggalian hukum.
Setelah selesai belajar di Makkah, Imam Sayafi’i melanjutkan belajar ke Madinah pada usia 16 tahun. Di bawah bimbingan Imam Malik, beliau belajar sampai 11 tahun dan baru berakhir setelah sang guru wafat pada 179H. Seusai belajar di Madinah belia menjadi qadli di Najran, wilayah Yaman sampai tahun 184H. Titik balik kehidupan Imam Syafi’i terjadi pada tahun itu ketika beliau dipanggil ke Baghdad oleh Khalifah Harun Al Rasyid karena difitnah melakukan tindak pidana. Tuduhan dan fitnah tersebut tak terbukti dan beliu tinggal di Irak untuk belajar kepada Imam Muhammad bin al Hasan. Smapai usia 34 beliau belajar di sana, dan hasilnya sangat spektakuler: Imam Syafi’I berhasil memadukan paradigma fiqh para ahli Hadits (ahlul hadits) dari Hijaz dan paradigma fiqh rasional (ahlur-ra’yu) dari Irak! Diusia yang sangat muda inilah Imam Syafi’i kemudian ditetapkan sebagai Imam madzhab ketika beliau kembali ke Makkah untuk mengajar di sana.
Di Makkah beliau mulai menciptakan kaidah-kaidah istinbath (cara mengambil dalil), baik mengikuti model para fiqh dari Hijaz maupun Irak. Beliau dengan piawai memberikan penjelasan, kritik, dan metode perbandingan antara keduanya untuk kemudian diambil kaidah-kaidah yang baru. Melalui halaqah-halaqah di Masjidil Haram, Imam Syafi’i menarik banyak murid dan pengikut dan berhasil menulis Kitab Ar-Risalah yang berisi ilmu Ushul al-Fiqh. Penajaman ar Risalah dilakukan terus menerus setelah beliau berpindah ke Baghdad dan tinggal selama 2 tahun di kota tersebut. Ketokohan beliau menjadi semakin diakui sehingga mendapat julukan Imam as Sunnah wa Nashir al-Hadits (Imam as Sunnah dan pembela Hadits). Seluruh periode Makkah dan Baghdad ini, yang kemudian dibukukan dalam Kitab-kitab ar-Risalah dan al-Hujjah kemudian dikenal dalam sejarah Madzhab Syafi;I sebagai periode awal atau Qaul Qadim.
Setelah pindah ke Mesir, Imam Syafi’i makin mengintensifkan kajiannya terhadap fiqh dan ilmu Ushul al Fiqh. Karena konteks yang sangat berbeda antara tanah Hijaz dan Mesir dan juga interaksi dengan para ilmuan yang semakin banyak, maka neliau berkesempatan untuk melakukan revisi-revisi terhadap pandangan lama yang termuat dalam ar-Risalah maupun al Hujjah. Beliau mendiktekan pandangan-pandangan baru, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Qaul Jadid” itu, kepada para muridnya yang menjadi Kitam al-Umm. Melalui karya besar dalam ilmu fiqh inilah imam Syafi’i kemudian menjadi dikenal di seluruh dunia dan madzhabnya diikuti oleh mayoritas ummat di berbagai negara. Di samping keahlian dalam fiqh, beliau juga menulis berbagai Kitab dalam bidang lain, seperti bahasa, Hadits, sastra, dan ilmu ma’ani.
Madzhab fiqh Syafi’i dikembangkan oleh murid-murid beliau yangmerupakan ulama-ulama besar seperti al Mawardi, an Nawawi, al Ghazali, as Syairazi, as Syarbini, as Sya’rani, as Suyuthi, Ibn Hajar al Haitami dan al Hisni ad Dimasyqi. Di tangan para ulama Syafi’i itulah pemikiran dan pendapat Imam Syafi’i dikembangkan secara lebih luas, mendalam, dan komprehensif sehingga merupakan sebuah corpus keilmuan fiqh yang menjadi sumber yang tak pernah kering sampai saat ini. An Nawawi misalnya menyusun Majmu’ nya sebanyak 18 jilid, belum lagi kitab-kitab beliau yang lain seperti Minhajut Thalibin yang kemudian disyarahi oleh banyak ulama murid beliau, seperti: Nihayah (ar Ramli); Tuhfah (Ibn Hajar); Mughni Muhtaj (Syarbini), dll.
Mengapa madzhab Imam Syafi’i begitu cepat berkembang dan mampu mempertahankan relevansinya samapi sekarang di seluruh dunia?. Menurut Dr Wahbah Zuhaili, dalam bukunya “Fiqih Imam Syafi’i”, ada beberapa cirri khas yang membuat madzhab ini sangat kuat. Antara lain:

1. Madzhab Syafi’i selalu berpedoman pada ilmu Ushul al-Fiqh. Ilmu yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i ini dipergunakan untuk menetapkan kaidah-2 dan prinsip-2 dasar serta cara (manhaj) pengambilan dalil untuk menentukan hukum. Melalui penggunaan ilmu ini maka banyak para ulama yang berbeda pendapat banyak yang kemudian tertarik dengan mazhab Syafi’i dan memungkinkan terjadi pengayaan fiqh
2. Madzhab Syafi’i memungkinkan terjadinya perpaduan harmonis antara fiqh, rasio, dan hadits yang berasal dari dua aliran: Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Irak. Dari sinilah kemudian ditemukan manhaj taufiq (metode perpaduan) yang memberikan prioritas kepada Hadits, setelah Qur’an, sebagai sumber hujjah disusul dengan Qiyas apabila tidak ditemukan nash.
3. Imam Syafi’i lebih ringan persyaratannya ketimbang misalnya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam hal penggunaan Hadits. Imam Abu Hanifah mensyaratkan hadits Ahad harus memiliki peringkat kemasyhuran tertentu untuk bias diterima sebagai sumber, sedangkan Imam Malik mensyaratkan hadits yang diterima harus sesuai dengan praktik/amalan ahli Madinah. Menurut Imam Syafi’i, sebuah hadits bisa diterima sebagai sumber hujjah apabila ia adalah shahih dan sanadnya bersambung. Namun demikian, beliau menolak hadits Mursal sebagai sumber, kecuali diriwayatkan oleh shahabat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi
Kendati Imam Syafi’i menolak Istihsan dan Masholihul Mursalah sebagai sumber hukum fiqh, namun ulama-ulama madzhab Syafi’i yang sesudahnya menggunakan keduanya, sebagaimana para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul ‘Ulama melakukan hal yang sama. Apa yang menjadi pendapat awal Imam Syafi’i (aqwal) dikembangkan dalam pendapat ulama-ulama Syafi’i berdasarkan Ushul Fiqh sehingga membentuk berbagai penafsiran pandangan (awjah) dan perbedaan para perawi mazhab (thuruq) yang memungkinkan perkembangan mazhab ini selanjutnya di masa-masa setelah mereka.
Karena adanya ketiga faktor itulah maka madzhab Syafi’i mampu menerobos batas-batas geografis dan juga kondisi perkembangan masyarakat yang berbeda-beda di dunia Islam. Namun demikian hal ini juga dapat menciptakan tantangan serius bagi para ulama fiqh madzhab ini karena mereka diharuskan untuk selalu meningkatkan pemahaman mereka yang terkait bukan saja dasar-dasara keilmuan fiqh tetapi juga perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di masyarakat atau negeri tertentu. Para pengikut madzhab ini selain mempunyai tingkat kelenturan yang tinggi di dalam memahami hukum, tetapi juga dituntut untuk memahami kaidah-kaidah yang benar-benar dapat dipergunakan secara akurat dan tidak sekedar menggunakannya sebagai alat justifikasi.Kegiatan bahtsul masail yang sudah menjadi tradisi di pondok pesantren NU di seluruh pelosok tanah air, tentu saja diharapkan untuk senantiasa mengikuti manhaj yang telah dirintis dibentuk dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan para ulama madzhab, mulai dari masa yang paling awal sampai para ulama mutaakhkhirin. Untuk itu, pemahaman yang komprehensif mengenai apa itu madzhab Syafi’i menjadi sine qua non (sesuatu yang mutlak) bagi mereka yang aktif dalam kegiatan ini. Apalagi dalam kondisi kemasyarakatan yang berubah dengan sangat cepat karena pengaruh teknologi informasi, transportasi dan ekonomi global, maka kemampuan para ulama dan santrai NU untuk mengembangkan manhaj dalam pengambilan dalil (istinbath) menjadi kunci utama jika ingin tetap relevan dengan tantangan zaman.
Tantangan yang dihadapi oleh ponpes dan para ulama serta santrinya tidaklah kecil. Ketika masyarakat kita sedang berada dalam kondisi krisis dan para pnyelenggara Negara juga tampaknya tidak mampu menyodorkan solusi yang tepat agar perikehidupan berbangsa menjadi lebih baik, maka banyak pihak yang mencoba mencari berbagai alternative, termasuk mencari jawabanap dari khazanah tradisi yang pernah menjadi rujukan. Pesantran merupakan salah satunya sehingga kita saksikan semacam arus kembangkitan pesantren yang luar biasa semenjak akhir abad ke duapuluh yang lalu.
Permasalahannya adalah apakah pesantren dan para pengasuhnya memang sudah memiliki kemampuan untuk memberikan solusi tersebut secara tepat atau hanya solusi yang bersifat paliatif, atau malah cuma sekedar solusi semu?
Jawaban atas pertanyaan di atas sangat tergantung kepada lembaga pesantren dan para pemangku kepentingan dan pengasuhnya. Bisa saja pesantren kemudian mengambil manfaat dari kebalauan dan kecarut-marutan masyarakat dengan memberikan jawaban-jawaban paliatif, sambil mengeruk keuntungan secara finansial dan gebyar popularitas publik yang sangat temporer sifatnya. Namun resiko yang harus ditanggung adalah akan hilangnya kredibilitas lembaga yang sudah berabad-abad ikut berperan dalam melindungi dan mendidik masyarakat. Di samping itu dalam jangka panjang, pesantren juga akan kehilangan relevansinya menghadapi realitas di luar yang semakin kompleks karena sibuk dengan dirinya sendiri dan kehilangan semangat untuk melihat kedepan,
Padahal jika kita belajar dari sosok seperti Imam Syafi’i maka yang paling menonjol dari beliau adalah kemampuannya untuk menerima dan mengantisipasi perubahan. Kenyataan bahwa ada yang disebuk qaul qodim dan qaul jaded itu saj sudah menunjukkan bahwa Imam Syafi’i menolak kejumudan atau stagnasi dalam pemikiran dan tindakan. Beliau adalah tipe cendekiawan yang senantiasa mencari tanpa henti. Padahal dengan kapasitas inteleknya yang luar biasa bisa saja beliau menjadi seorang yang berada dekat dengan pusat kekuasaan. Teladan yang harus kita ikuti dari beliau adalah menjadikan tafaqquh fid dien sebagi etos kehidupan pesantren yang akan mampu menjawab tantangan dalam kehidupan dan ikut meningkatkan kualitas manusia di sekitarnya.







ilmu Allah Menurut Al Qur’an dan Hadist




Yaqin kita kepada Allah….
Bismillahirohmanir rohim
Bahwa Makhluq ini tidak kuasa, tapi Allah yang maha kuasa!
Belajar diwajibkan untuk semua muslimin dan muslimat (hadits).
Tapi Hakikatnya ilmu datang dari Allah bukan dari Belajar.
Begitu pula rezeki datang bukan dari kerja kita.!
Kita Belajar karena perintah Allah dan Sunnah Nabi.
Jika Allah kehendaki, dengan belajar – Allah berikan ilmu
Jika Allah kehendaki, dengan belajar – tapi Allah tidak berikan ilmu
Jika Allah kehendaki, tanpa belajar pun – Allah berikan ilmu
Laailaha illallah
Belajar itu makhluq, Allah yang kuasa
Kata laduni dipetik dari ayat Allah yang berbunyi:
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
ilmu laduni /ilmu mauhub merupakan salah satu ilmu yang harus dimilki oleh orang yang ingin menjadi ahli tafsir alqur’an. Disamping harus mengusai cabang ilmu lainnya seperti ilmu 1.lughah,
2 nahwu,
3 saraf,
4 balaghah,
5 isytiqoqo,
6 ilmu alma’ani,
7 badi’,
8 bayan,
9 fiqh,
10 aqidah,
11 asbabunuzul,
12 nasikh mansukh,
13 ilmu qiraat,
14 ilmu hadits,
15 usul fiqah ( hukum-hukum furu’) dan ilmu mauhub ( fadhilah alqur’an, syaikh maulana zakariyya).
Ilmu ini adalah karunia khusus dari Allah swt.
“man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”
Artinya : Nabi SAW bersabda :”
BARANGSIAPA YANG MENGAMALKAN ILMU YANG IA KETAHUI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA ILMU YANG BELUM IA KETAHUI”
Perkara ini telah dijelaskan oleh sayyidina ‘ali ra. saat beliau menjawab pertanyaan orang ramai, “apakah beliau telah mendapatkan ilmu khusus atau wasiat khusus dari Rasulullah saw. yang hanya diberikan kepada beliau dan tidak kepada orang lain?”
Hazrat ‘ali ra. menjawab :” Demi Tuhan yang telah menciptakan surga dan jiwa-jiwa, aku tidak pernah mendapat apa-apa selain daripada ilmu yang Allah berikan kepada seseorang untuk memahami alqur’an!”
ibnu abi dunya rah. berkata bahwa pengetahuan daripada Al-quran dan apa-apa yang didapati daripada alqu’an begitu luas daripada alqur’an.
Seorang pentafsir harus mengetahui cabang ilmu yg disebutkan diatas. Tafsiran orang yang tidak mahir dalam ilmu-ilmu ini adalah termasuk tafsiran bil-rakyi (tafsir menurut fikiran sendiri) yang hal ini DILARANG OLEH SYARA’. Para sahabat ra. mendapat ilmu bahasa arab secara tabii dan ilmu-ilmu lain mereka dapati langsung dari ilmu kenabian (nabi SAW).
Nabi SAW bersabda :” Barang siapa yang berfatwa dalam masalah agama, tanpa ada ilmu maka baginya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya ” (HR. Imam suyuti).
Jadi Ilmu laduni = ilmu dari Allah asbab hasil amal…karena Allah telah tunjukan cara mendapatkannya pada kita.
ilmu laduni dan cara/jalan untuk mendapatkannya didalam ALQU’AN DAN HADITS :
1. TAKUT KEPADA ALLAH
kitab alhikam, syaikh ibnu athoillah alasykandary (kepala madrasah alazhar-asyarif abad 7 hijriah) menyebutkan nukilan ayat dari alqur’anulkarim :
“wataqullaha wayu’alimukumullah” (Qs. Al baqarah ayat 282)
artinya : “Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian“ (Qs. Al baqarah ayat 282)
Sifat takut/tunduk/patuh hanya kepada Allah, sangatlah mulia. Bukan saja ilmu laduni yang Allah beri tapi Allah akan tundukan semua makhluq padanya bahkan para malaikatpun akan berkhidmad dan senantiasa membantunya (atas izin Allah), sebagai mana maksud dari haidts nabi SAW :
Nabi saw bersbda :
“man khofa minallahi khofahu kulla syai waman khofa ghoirallah khofa min kulli syai”
artinya : “Barang siapa yang takutnya hanya kpd Allah maka Smua makhuq akan takut/tunduk padanya. Barangsiapa takut/tunduknya kpd selain Allah maka semua makhluq akan (menjadi asbab) ketakutan baginya “
Lihatlah kisah-kisah salafushalih kita,
bagaimana pasukan dakwah sahabat berjalan diatas air melintasi sungai tigris irak, pasukan dakwah sahabat yang berjalan melintasi laut merah, mu’adz bin jabal ra shalat 2 rekaat maka gunung batu yang besar terbelah dua-membuka jalan untuknya, para sahabat terkemuka boleh mendengarkan dzikir benda-benda mati (roti dan mangkuk) .
Abu dzar alghifary ra. atas perintah khalifah umar ra., beliau ditugaskan utk memasukan kembali lahar gunung berapi yang sudah keluar dari kawahnya. maka atas izin Allah, lahar panas tsb masuk kembali ke kawah gunung tsb (hayatushabat).
Abdullah atthoyar ra. boleh terbang seprti malaikat yang punya sayap, maka ketika ditanya oleh rasulullah, apa yang menjadi asbab Allah berikan karomah tersebut, maka beliau menjawab ” saya pun tidak tahu, tapi mungkin karena aku dari sebelum saya masuk islam sampai sekarng pun saya tidak pernah minum khamr, …dst”.
2. MENGAMALKAN ILMU YANG DIKETAHUI
sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa nabi muhammad saw bersabda :
“man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”
Artinya : Nabi SAW bersabda :” BARANGSIAPA YANG MENGAMALKAN ILMU YANG IA KETAHUI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA ILMU YANG BELUM IA KETAHUI”
3. TIDAK MENCINTAI DUNIA
‘alammah suyuti rah. berkata :“kamu menganggap bahwa ilmu mauhub adalah diluar kemampuan manusia. Namun hakikatnya bukanlah demikian, bahkan cara untuk menghasilkan ilmu ini adalah dengan beberapa asbab. Melalui ini Allah swt. telah menjanjikan ilmu tersebut. Asbab-asbab itu adalah seperti : beramal dengan ilmu yang diketahui, tidak mencintai dunia dan lain-lain….”
Sebagaimana dalam sebuah hadits, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya : “Barang siapa yang zuhud pada dunia (tidak cinta dunia), maka akan Allah berikan kepadanya ilmu tanpa Belajar” (Fadhilatushaqat).
4. Berdoa
Semua itu datang bagi Allah, maka Rasulullah mencontohkan kepada kita agar senantiasa berdoa agar diberikan ilmu dan hidayah dari Allah swt.
Untuk menumbuhkan rasa takut pada Allah dengan dzikir
Untuk menumbuhkan zuhud pada Allah dengan mujahadah
Sedangkan Doa akan diterima jika kita ikhlash…..
Untuk itu kita harus belajar dan dibimbing oleh guru-guru yang mursyid.
5. Berdakwah
Jika kita berdakwah (amr bil ma’ruf wa nahya ‘anil munkar) atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran maka Allah akan berikan kepada kita ‘ilm wa hilm (’ilmu dan kelembutan hati) langsung dari qudrat Allah swt.
Sebagaimana dalam hadits qudsi (kurang lebih maknanya) tatkala Allah menceritakan keutamaan umat akhir zaman kepada Nabi isa as., mereka memakai sarung pada perut-perut mereka, jika mereka berjalan di tanah rata mereka berdzikir “alhamdulillah”, ditanah yang menanjak mereka berdzikir “allahuakbar” ,jika berjalan ditanah yang menurun mereka berdzikir “subhanallah” dan mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (berdakwah) ,
sedangkan mereka bodoh (tidak punya banyak ilmu) dan kasar (tidak hilm)
maka Nabi isa as. bertanya : “Bagaimana mereka akan berdakwah padahal mereka tidak punya ‘ilm dan hilm(kelembutan hati)?
Maka Allah firmankan :”Aku sendiri yang akan memberikan kepada mereka ilm dan hilm” (Muntakhob ahadits)
ilmu laduniadalah karunia khusus/khas bagi hambanya,
terlebih bagi mereka yang telah ma’rifat.
Orang yang telah ma’rifat akan mendapatkan segala-galanya karena tidak ada keinginan dunia dalam hatinya.
Nabi SAW bersabda : “man wajadallah wajada kulla syai, man faqadallah faqada kulla syai”
artinya : Barang siapa kenal kepada Allah maka ia akan mendapatkan segala-galanya
Barang siapa yang kehilangan Allah (tidak kenal Allah) maka ia kehilangan segala-galanya.”
Dalam kitab kimiyai saadat,
bahwa ada tiga jenis manusia yang tiadak akan bisa memahami alqur’an :
Pertama : Seorang yang tidak memahami bahasa arab
Kedua : Orang yang berkekalan dengan dosa-dosa besar dan bid’ah. Ini karena dosa dan amalan bid’ah itu akan menghitamkan hatinya yg menyebabkan dia tidak mampu memahami alqur’an.
ketiga : Orang yang yakin hanya terhadap makna-makna dhahir saja dalam hal-hal aqidah (mengambil makna dhohir dari ayat/hadits mutasyabihat, aqidahnya bermasalah: mu’tazillah, mujasimmah dsb). Perasaanya tidak dapat menerima apabila dia membaca ayat alqu’an yang bertentangan dengan keyakinannya itu. Orang yang demikian tidak akan bisa memahami alqur’an.
“Ya Allah Peliharalah kami daripada mereka!”


Aurat Wanita Menurut Madzhab Syafi’i



Manakah aurat wanita? Yang kita bahas kali ini adalah aurat wanita yang tidak boleh ditampakkan di hadapan umum, di hadapan para pria yang bukan mahramnya. Tinjauan kami kali ini adalah berdasarkan madzhab Syafi’i. Aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki. (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa aurat itu berarti kurang, aib dan jelek. (Al Majmu’, 3: 119). Imam Nawawi menyatakan pula bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia dan ini adalah ijma’ (kata sepakat ulama). (Idem). Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia ketika berada bukan hanya di dalam shalat, namun juga di luar shalat. Juga aurat tersebut ditutup ketika bersendirian kecuali jika dalam keadaan mandi.” (Fathul Qorib, 1: 115). Adapun aurat wanita disinggung oleh Imam Nawawi yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. (Al Majmu’, 3: 122). Juga disinggung beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188. Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah pendapat terkuat. Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’- menyatakan bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (QS. An Nur: 31). Yang dimaksud menurut ulama pakar tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan. (Lihat Al Iqna’, 1: 221). Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, termasuk dalam telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan. Adapun aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh tubuhnya. Ketika sendirian aurat wanita adalah sebagaimana pria -yaitu antara pusar dan lutut-.” (Fathul Qorib, 1: 116). Asy Syarbini berkata, “Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (QS. An Nur: 31). Yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah tafsiran dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 286). Konsekuensi dari pernyataan aurat wanita di atas, bagian tangan dan kaki adalah aurat termasuk juga badan. Sehingga kalau bagian tersebut hanya dibalut dengan baju dan tidak longgar, alias ketat, maka berarti aurat belumlah tertutup. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian wanita muslimah dengan memakai penutup kepala namun sayangnya berpakaian ketat, bukanlah menutup aurat karena bagian aurat seperti tangan masih terlihat bentuk lekuk tubuhnya. Celana ketat pada paha pun masih menampakkan lekuk tubuh yang seksi. Lebih-lebih di dada walau kepala tertutup, masih membuat laki-laki tergoda syahwatnya. Berjilbab yang benar bukan hanya menutup rambut kepala. Tetapi juga harus memperhatikan baju dan rok yang digunakan, mestilah lebar. Adapun menggunakan celana panjang tidaklah menggambarkan menutup aurat dengan sempurna meski longgar karena bentuk lekuk tubuh masih terlihat. Jadi yang aman bagi wanita adalah menggunakan baju atau gamis lalu ditutupi dengan jilbab yang lebar di luarnya yang panjangnya hingga pinggang atau paha sehingga lebih menutupi sempurna bagian badan. Kemudian bagian bawah lebih sempurna menggunakan rok yang lebar (longgar), tidak ketat. Rok tersebut hingga menutupi kaki. Adapun panjang rok tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah berikut ini. Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, telangkap kakinya masih tersingkap.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan satu hasta, jangan lebih dari itu.“(HR. Tirmidzi no. 1731 dan An Nasai no. 5338. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) Pelajaran yang bisa kita petik dari penjelasan ulama Syafi’iyah di atas, punggung dan bagian dalam telapak tangan bukanlah aurat yang mesti ditutupi, wallahu a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik.